Mental Awareness dan Fenomena Self Diagnosis

Bharindonews.com –Isu mental health pada masyarakat dewasa ini begitu gencar dibicarakan diranah publik baik itu dalam forum formal maupun sekedar cuitan di media sosial. Diskusi tentang kesadaran terhadap apa yang dirasakan bahkan merambat tidak hanya sekedar topik yang seru untuk di diskusikan secara rendom tetapi juga berkembang menjadi industri.

Berbagai karya seni seperti lukisan, musik bahkan film ramai mengangkat tema yang mungkin pada 10 tahun yang lalu dianggap tabu untuk dibicarakan. Perkembangan nya bahkan tidak sampai disitu saja, pembicaraan terharap mental issue juga diangkat oleh berbagai konten kreator hingga melahirkan konten-konten seperti deeptalk atau layanan konseling online yang menghadirkan layanan bersama konselor bahkan psikolog dan psikiater.

Kesadaran terhadap kesehatan mental ini tentu harus mendapatkan apresiasi sebab sudah sejak lama masyarakat terkungkung dalam stigma negatif terhadap para pasien gangguan mental. Kesadaran ini membawa kita selangkah lebih maju terhadap langkah konkren yang akan diambil untuk mengatasi gangguan mental dikalangan masyarakat kedepannya.

Namun, seperti hal nya pisau bermata dua. Kesadaran yang diakibatkan dari arus besar informasi di era modern ini juga berdampak tidak hanya positif melainkan juga negatif. Konten-konten tentang kesadaran mental yang berseliweran diberbagai platform media sosial tidak hanya memberikan edukasi kepada masyarakat ataupun pengguna media sosial (yang kebanyakan generasi milenial dan gen z) tetapi juga memicu berbagai stigma baru di kalangan generasi muda sebagai generasi yang paling berdampak dari kencangnya arus informasi. Dan hal itu adalah maraknya self diagnosis. Terbukti, stigma baru yang melekat terhadap generasi muda saat ini ialah generasi dengan mental yang lemah.

Bukan tanpa alasan, berbagai konten yang diberikan (yang boleh jadi) sejatinya bertujuan untuk memberikan informasi dan edukasi kepada khalayak terhadap pentingnya menyadari kesehatan mental malah berbalik menjadikan konten tersebut sebagai ajang self diagnosis dan validitas atas perilaku yang tidak sesuai agar mendapat pemakluman dan atensi dari masyarakat.

Baca Juga :  Korban Kekerasan Seksual dan Dukungan Sosial Keluarga

Seperti contoh beberapa konten yang memberikan ‘pelayanan’ tes tentang apakah seseorang mengidap penyakit mental tertentu atau tidak. Diberikanlah user pertanyaan-pertanyaan (yang sesungguhnya bersifat general) kemudian mereka diperintahkan untuk memilih dan menghitung skore supaya dapat dikalkulasikan diakhir dan kemudian dilihat seberapa besar kemungkinan user mengidap penyakit tersebut. Bahkan ada tes disalah satu platform yang memberikan gambaran kepada khalayak apakah user seorang psikopati atau bukan dengan memberikan tes yang sama seperti diatas.

Hal ini juga bisa digolongkan dengan self diagnosis karena pertanyaan-pertanyaan yang diberikan tidak cukup menjelaskan apakah seseorang dapat di diagnosis sebagai psikopat atau bukan. Gambaran tentang psikopati didalam tes kebanyakan adalah gambaran umum psikopat dalam masyarakat. Masyarakat umum menggambarkan psikopat adalah seseorang yang keji, tidak mempunyai perasaan dan seorang pembunuh berantai. Namun pada faktanya, pengidap psikopati tidak mesti selalu membunuh. Gambaran ini umum ada didalam masyarakat yang sesungguhnya terbentuk dari gambaran didalam film. Film menggambarkan bahwa psikopat adalah orang yang pasti membunuh.

Self diagnosis dapat membahayakan karena kita akan cenderung mengambil pengobatan yang salah. Risiko mengalami kondisi kesehatan yang lebih parah pun bertambah besar akibat sembarangan mengonsumsi obat atau menjalani metode pengobatan yang tidak disarankan dokter. Itulah pentingnya untuk meminta bantuan tenaga ahli medis seperti dokter untuk mendiagnosis gejala kesehatan yang dialami. Dengan menanyakan lebih detail tentang gejala yang dialami dan berapa lama gejala tersebut berlangsung, dokter dapat membuat diagnosis yang tepat. 

Self diagnosi juga bisa berpengaruh pada kesehatan mental akibat kekhawatiran yang tidak perlu.Selain menyebabkan kekhawatiran yang tidak perlu yang bisa berujung pada gangguan kecemasan umum, self-diagnosis juga dapat membuat masalah kesehatan mental tertentu menjadi tidak terdiagnosis. Gangguan mental biasanya tidak muncul sendirian, melainkan juga disertai oleh gangguan mental lainnya.

Baca Juga :  Makna 78 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Maka dari itu, bijaksana dalam mengolah informasi yang didapat agar tidak menjadi bumerang bagi kesehatan diri sendiri juga masyarakat umum.

Penulis : septiani.S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *